Table of Contents

Jelajahi platform kami sekarang

Dapatkan Insights HR terbaru dengan berlangganan Newsletter Kami

Related Posts

Menyambut Gen Z di Dunia Karir: Employee Experience Sebagai Kunci Utama

Beberapa tahun lalu, topik pembicaraan di ranah ketenagakerjaan biasanya terfokus dalam membicarakan Generasi Millennials. Namun saat ini, topik pembicaraan telah bergeser ke Gen Z, generasi yang lahir antara tahun 1995 hingga tahun 2010.

Beberapa tahun lalu, topik pembicaraan di ranah ketenagakerjaan biasanya terfokus dalam membicarakan Generasi Millennials. Namun saat ini, topik pembicaraan telah bergeser ke Gen Z, yaitu generasi yang lahir antara tahun 1995 hingga tahun 2010.

Ciri khas Gen Z yang paling terlihat adalah karakter dasar mereka yang sering kita sebut sebagai Digital Native Generation. Maksudnya, Gen Z telah sepenuhnya terpapar dengan teknologi informasi dan teknologi dari sejak mereka lahir, sehingga mereka tidak memiliki referensi pribadi berupa pengalaman nyata tentang kondisi dunia sebelum smartphone lahir.

Telah cukup banyak praktisi bisnis dan praktisi HR yang mulai memfokuskan perhatiannya pada kemunculan Gen Z, namun jumlahnya dapat dikatakan masih terlalu sedikit. Sayangnya, itu pun langsung teralihkan perhatiannya pada krisis & pandemi global Covid-19.

Baca Juga : Mengenal Generasi Z: Generasi Tech-savvy dengan Karakterisik yang Unik

Dari berbagai diskusi publik, pengalaman nyata para praktisi, dan kajian ilmiah para akademisi, tidaklah salah jika kita dapat secara konklusif memandang Gen Z sebagai generasi yang memiliki karakteristik umum yang unik sebagai berikut:

  1. Gen Z merupakan generasi yang sadar akan pentingnya kemampuan bekerja secara tim, namun mereka adalah generasi yang sangat menyadari pentingnya privasi atau kelonggaran ruang & waktu saat sedang bekerja, dan ketika mereka berkarya dalam suatu organisasi. Independensi mereka adalah yang paling tinggi di antara generasi-generasi sebelumnya. Bagi generasi sebelumnya, karakteristik umum ini sering disalahpahami sebagai “anti-sosial”.
  2. Gen Z memiliki karakter entrepreneurship yang kuat, dan ini diperkuat dengan karakter dasar Gen Z yang Digital Native. Bagi mereka, menjadi Founder atau CEO sebuah perusahaan yang mereka dirikan sendiri bersama kawan-kawannya, tidak dipandang sebagai hal yang terlalu rumit dibandingkan dengan cara berpikir generasi sebelumnya yang lebih kalkulatif. Bagi generasi sebelumnya, karakteristik umum ini sering disalahpahami sebagai “tidak loyal”, “tidak fokus”, atau “gegabah”.
  3. Gen Z berkecenderungan untuk lebih mengutamakan Employee Experience dibandingkan stabilitas status kekaryawanan. Dengan kata lain, Gen Z cenderung lebih peduli dengan kenyamanan kerja dibandingkan status kekaryawanan PKWT (Karyawan Kontrak) atau PKWTT (Karyawan Tetap). Bagi generasi sebelumnya, karakteristik umum ini sering disalahpahami sebagai “buta hukum” atau “tidak peduli UU Ketenagakerjaan”.
  4. Definisi karir bagi Gen Z sudah banyak berubah dan berbeda jauh dengan definisi karir bagi generasi-generasi sebelumnya. Bagi Gen Z, mereka tidak masalah dengan masa kerja yang cenderung singkat di suatu perusahaan. Ketika mereka tidak menemukan Employee Experience yang mereka harapkan, mereka tidak segan untuk segera mengundurkan diri sesegera mungkin. Bagi generasi sebelumnya, karakteristik umum ini sering disalahpahami sebagai “kutu loncat”.
  5. Gen Z lahir, menjalani studi, lulus, dan memasuki dunia kerja; dalam kondisi dunia yang sudah terbiasa dengan fenomena Online Meeting, Remote Work, Freelance WorkBy-Project Work, dan Work-Life Enjoyment. Gen Z sudah tidak lagi mempermasalahkan Work-Life Balance (seperti Boomers dan Gen X) atau Work-Life Integration (seperti Millennials), melainkan sudah di tahap Work-Life Enjoyment. Bagi generasi sebelumnya, karakteristik umum ini sering disalahpahami sebagai “generasi lembek & pemilih”.

Mispersepsi Terhadap Gen Z: Akibat Perbedaan Konteks Zaman

Sebagai Digital Native Generation, sebenarnya wajar saja jika Gen Z terlihat sebagai generasi yang “paling berbeda” dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Masalahnya adalah seringkali terjadi pemberian label, cap, atau generalisasi berlebihan atas Gen Z, yang tidak dilandasi oleh semangat pemahaman bersama antar-generasi.

Gen Z yang dipandang sebagai generasi anti-sosial, pada derajat tertentu, ada benarnya. Mereka terlalu terpapar dengan teknologi, sehingga kurang berinteraksi dengan sesama manusia lainnya. Miskomunikasi juga sering terjadi ketika Gen Z harus berinteraksi dengan generasi sebelumnya. Semakin jauh perbedaan generasinya, semakin besar kemungkinan terjadi miskomunikasi nya.

Label “tidak loyal” atau “tidak fokus” seringkali disematkan karena perbedaan konteks zaman dalam mempersepsikan dunia karir & ketenagakerjaan. Di zaman dulu, perusahaan dapat melangsungkan bisnisnya dengan stabil, dan oleh karenanya, perusahaan memiliki bargaining power lebih besar untuk menawarkan stabilitas karir dan penghasilan pada para karyawannya.

Namun di jaman sekarang yang terkenal dengan label VUCA dan ditambah lagi dengan Covid-19, semakin sedikit jumlah perusahaan yang berani menjamin Career Path jangka panjang bagi para karyawannya. Inilah yang menyebabkan para karyawan di zaman sekarang, terutama Gen Z, harus mencari sumber penghasilan lain di luar penghasilan utamanya di kantor.

Di satu sisi, Gen Z juga dikenal sebagai generasi yang tidak terlalu rewel dengan status kekaryawanan. Apakah mau menjalani masa percobaan (probation) 3 bulan lalu menjadi Karyawan Tetap (PKWTT), atau Karyawan Kontrak (PKWT), biasanya bukan hal itu yang mereka permasalahkan ketika pertama kalinya memutuskan untuk bekerja di suatu perusahaan.

Selain karena mementingkan Employee Experience yang baik selama bekerja di suatu perusahaan, Gen Z juga berkecenderungan untuk tidak terlalu berlama-lama membangun karir di satu perusahaan, tanpa terpaku pada betapa sempurna dan mengasyikkan perusahaan tersebut.

Maka, seringkali ada mispersepsi dari generasi sebelum Gen Z bahwa mereka adalah generasi kutu loncat yang tidak loyal. Padahal memang nature-nya Gen Z ya seperti itu. Semakin banyak Founder / C-Level dan praktisi HR perusahaan yang menyadari realitas tersebut, tentunya akan semakin baik bagi antisipasi kedepannya. Pemberian label yang tendensius, tidak akan menolong situasi menjadi lebih baik.

Di era Boomers dan Gen X berkuasa, tema utamanya adalah Employee Retention dan Work-Life Balance. Semakin lama seorang karyawan bisa bertahan di satu perusahaan, maka perusahan tersebut dipandang sukses dalam melakukan Talent Management.

Ketika era berganti ke Millennials, tema utamanya adalah Employee Engagement. Maka tidaklah mengherankan jika banyak kantor, terutama Startup, yang menghiasi kantornya dengan berbagai fasilitas yang diharapkan dapat membuat para karyawannya lebih engaged. Lembur di kantor pun terasa lebih menyenangkan. Itulah sebabnya mengapa tone-nya berganti menjadi Work-Life Integration.

Ketika Gen Z mulai memasuki dunia karir, tema utamanya adalah Employee Experience. Sehingga kapan pun mereka memutuskan untuk tidak lagi bekerja di suatu perusahaan, mereka akan tetap mengatakan hal-hal baik & positif mengenai perusahaan lamanya tersebut, dan testimoni mereka itulah yang seringkali dijadikan acuan bagi para Gen Z lainnya dalam memutuskan apakah mereka mau berkarir di suatu perusahaan atau tidak. Gen Z bukanlah generasi yang mudah percaya dengan narasi Employer Branding yang dihembuskan suatu perusahaan. Mereka lebih percaya dengan testimoni langsung dari para mantan karyawan perusahaan itu.

Employee Experience khas Gen Z harus ditopang dengan Work-Life Enjoyment. Apakah Gen Z enjoy bekerja di kantor tersebut atau tidak, inilah yang harus menjadi fokus perhatian para praktisi manajemen & kepemimpinan perusahaan di jaman sekarang. Karena ketika Work-Life Enjoyment tercapai, Gen Z akan menjadi pekerja yang produktif, konsistensi, dan kompetensinya dapat setara atau bahkan melampaui karyawan generasi sebelumnya.

Jika mereka merasa bahwa tidak ada lagi Work-Life Enjoyment, mereka tidak segan langsung resign, dan inilah yang sering dipersepsikan sebagai “generasi lembek” atau “tidak tahan banting” bagi standar generasi sebelum Gen Z.

Sebagai sebuah platform yang terintegrasi untuk memahami potensi semua generasi di dunia karir, Rencanamu dan Talentics selalu yakin bahwa sinergi antara manusia semua generasi, teknologi berbasis data, dan para praktisi bisnis maupun HR; dapat menjadi awal yang baik & penting bagi terciptanya Work-Life Enjoyment di banyak perusahaan. Inilah tujuan besar kita bersama yang sesungguhnya.

Talentics dapat memudahkan perusahaan Anda untuk menemukan talenta Gen Z terbaik yang sesuai dengan kultur perusahaan Anda. Dengan Online Assessment kami, Anda dapat mencari tahu kecocokan pekerjaan, personality, hingga kecocokan kultur perusahaan dengan para talenta terbaik yang ingin Anda pekerjakan.

Selain itu, sangat penting untuk melakukan Early Talents Recruitment untuk memperkenalkan Employer Brand Anda kepada young talents sejak dini. Banyak Generasi Z yang masih berada di bangku perkuliahan yang nantinya mungkin akan menjadi future leaders di perusahaan Anda. Maka dari itu, dengan memperkenalkan brand Anda sejak dini melalui program Employer Branding Talentics, Anda dapat selangkah lebih cepat dalam menarik perhatian young talents ke perusahaan Anda.

 

Apakah artikel ini membantu?
YaTidak

Share:

Leave a Reply

On Key
Scroll to Top

Talentics

PT. Semesta Integrasi Digital.