Table of Contents

Jelajahi platform kami sekarang

Related Posts

Kemampuan Bekerja dalam Tim

Salah satu keterampilan yang sering menjadi poin prioritas dalam deskripsi pekerjaan adalah kemampuan bekerja dalam tim. Sebagai bagian dari soft

Dapatkan Insights HR terbaru dengan berlangganan Newsletter Kami

Strategi HR 2025: Mitigasi Dampak PHK dan Work Loneliness Melalui Employee Engagement 

Tahun 2024 telah menjadi katalis perubahan besar di dunia kerja, dan tahun 2025 menghadirkan tantangan yang semakin kompleks sekaligus penuh peluang. Human resources (HR) berada di garis depan dalam menghadapi dinamika seperti dampak berkepanjangan dari gelombang PHK, meningkatnya fenomena merasakan isolasi di tempat kerja (work loneliness), serta kebutuhan mendesak untuk meredefinisi keterlibatan karyawan (employee engagement) sebagai bagian inti dari strategi bisnis.

Transformasi ini menunjukkan pergeseran fundamental dalam cara organisasi mengelola tenaga kerja. Krisis ekonomi yang berakar sejak pandemi Covid-19 memberikan pelajaran penting mengenai daya tahan dan fleksibilitas organisasi. Namun, fokus di tahun 2025 tidak lagi hanya bertahan, melainkan merancang solusi inovatif yang mampu menjawab kebutuhan bisnis sekaligus memperkuat kesejahteraan karyawan.

Praktisi HR dihadapkan pada tuntutan untuk memimpin dengan pendekatan berbasis data, teknologi, dan empati. Keputusan strategis perlu dirancang untuk menjawab perubahan dinamis dengan tetap memprioritaskan manusia sebagai pusat dari setiap inisiatif.

Artikel ini akan mengupas lebih dalam tiga fokus strategis yang relevan di tahun ini:

  1. Dampak berkepanjangan gelombang PHK: Langkah-langkah membangun stabilitas di tengah tantangan ekonomi yang berlanjut.
  2. Mengatasi kesepian kerja: Pendekatan strategis untuk menciptakan koneksi autentik di lingkungan kerja modern.
  3. Evolusi keterlibatan karyawan menjadi produk strategis: Strategi merancang pengalaman karyawan yang selaras dengan kebutuhan bisnis dan ekspektasi tenaga kerja.

Dampak Panjang PHK Masih Berlangsung Hingga Sekarang

Meskipun ekonomi Indonesia sudah cukup menunjukkan tanda-tanda pemulihan dengan pertumbuhan diatas 5% sejak 2021, tahun 2024 tetap menjadi tahun penuh tantangan dengan tetap terjadinya gelombang PHK atau layoff di banyak perusahaan. Penyebabnya bervariasi, mulai dari perubahan prioritas bisnis hingga adaptasi teknologi baru. Contohnya, banyak perusahaan teknologi yang merampingkan tim untuk mengalihkan fokus mereka ke pengembangan AI.

Gelombang PHK yang terjadi sepanjang 2023-2024 berdampak besar pada karyawan dan perusahaan. Meskipun banyak pemimpin yang beranggapan bahwa keterlibatan karyawan (employee engagement) akan pulih seiring waktu, kenyataan menunjukkan bahwa pemulihan ini tidak sesederhana itu.

Data survei dari 2023 menunjukkan adanya fenomena engagement rebound, yaitu peningkatan keterlibatan karyawan secara keseluruhan sekitar 18-24 bulan setelah terjadinya layoff. Namun, kembalinya level employee engagement ke level sebelum terjadinya PHK ini ternyata disebabkan oleh masuknya karyawan baru yang tidak mengalami langsung PHK dan umumnya berada dalam fase optimis di pekerjaan baru mereka atau honeymoon phase. Menurut data dari penelitian yang sama, perubahan dalam keterlibatan karyawan setelah PHK dapat dirangkum sebagai berikut:

  • NPS dan Kebanggaan: Menurun sekitar 12% setelah lebih dari dua tahun.
  • Motivasi: Turun hingga 16%.
  • Komitmen Saat Ini dan Masa Depan: Penurunan terbesar terjadi pada aspek ini, mencapai 23% lebih rendah dari tingkat sebelum PHK.
Source: Culture Amp, 2023

Menariknya, perusahaan dengan keterlibatan tinggi sebelum PHK justru merasakan efek negatif yang lebih besar. Ini menunjukkan bahwa keputusan PHK tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada iklim kerja secara keseluruhan.

Mengapa Hal Ini Terjadi?

PHK menciptakan luka emosional bagi karyawan yang bertahan, seperti hilangnya kepercayaan, rasa tidak aman, dan berkurangnya motivasi. Mereka sering merasa terbebani karena melihat rekan kerja mereka kehilangan pekerjaan.

Di sisi lain, karyawan baru membawa optimisme yang meningkatkan skor keterlibatan secara keseluruhan. Namun, optimisme ini tidak cukup untuk sepenuhnya menghapus dampak negatif bagi karyawan yang sudah lama bekerja.

Baca juga Talentics Insight: Dampak PHK Terhadap Anxiety Pencari Kerja

Apa yang Perlu Dilakukan Perusahaan di Tahun 2025?

Untuk mengatasi dampak jangka panjang PHK, perusahaan perlu mendukung baik karyawan lama maupun baru dengan langkah-langkah berikut:

  1. Bangun Kepercayaan pada Karyawan Lama:
    • Kumpulkan umpan balik mereka untuk memahami kebutuhan dan kekhawatiran utama.
    • Terapkan komunikasi yang terbuka dan empatik untuk memperbaiki hubungan kerja.
  2. Beri Visi yang Jelas untuk Karyawan Baru:
    • Jelaskan peran mereka dalam kesuksesan perusahaan di masa depan.
    • Buat strategi yang kuat agar mereka merasa percaya diri terhadap arah perusahaan.
  3. Gunakan Data untuk Membuat Keputusan:
    • Analisis data keterlibatan karyawan untuk memahami masalah utama.
    • Prioritaskan tindakan berdasarkan data untuk meningkatkan suasana kerja.

Dengan mendukung karyawan lama dan memberi ruang optimisme bagi karyawan baru, perusahaan dapat menciptakan budaya kerja yang lebih stabil dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Work Loneliness 

Laporan Gallup 2024 State of the Global Workplace menyebutkan bahwa satu dari lima pekerja di seluruh dunia merasa terisolir di tempat kerja. Meskipun alasan utama yang sering beredar adalah dampak yang terjadi karena kerja remote atau karakter beberapa individu yang cenderung introvert, kenyataannya penyebab isolasi sosial lebih mendalam dan jauh lebih kompleks daripada yang sering diasumsikan.

Dalam buku riset “We’re Still Lonely at Work” yang diterbitkan oleh Harvard Business Review, Constance Noonan Hadley dan Sarah L. Wright menyoroti bahwa pendekatan yang umum dipakai, seperti mengembalikan metode kerja dari kantor secara full time atau merombak penempatan tim, ternyata bukan solusi efektif untuk mengatasi masalah kesepian di tempat kerja. 

Baca juga: 3 Strategi Menghadapi “The Great Detachment” 

Dampak Merasa Terisolasi di Tempat Kerja

Workplace loneliness dapat berakibat buruk bagi karyawan dan perusahaan. Beberapa dampak yang paling umum termasuk:

  • Penurunan Keterlibatan dan Kepuasan Kerja: Karyawan yang merasa kesepian lebih cenderung kehilangan motivasi dan semangat untuk berkontribusi secara maksimal di tempat kerja.
  • Potensi Gangguan Kesehatan Mental: Rasa kesepian yang berkepanjangan bisa memicu masalah kesehatan mental seperti stres, kecemasan, dan depresi, yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas.
  • Kolaborasi yang Terhambat: Kurangnya interaksi yang konstruktif antar rekan kerja dapat mengurangi kolaborasi dan inovasi di dalam tim.

Mengukur Isolasi Sosial di Tempat Kerja

Langkah pertama untuk mengatasi masalah isolasi sosial di tempat kerja adalah dengan mengukurnya. Salah satu alat yang disarankan oleh Hadley dan Wright adalah Work Loneliness Scale, yang mengukur seberapa terhubung atau terisolasi perasaan karyawan di tempat kerja. Alat ini mencakup lima pernyataan yang harus dijawab oleh karyawan dengan skala 1 hingga 5, dari “Tidak Pernah” hingga “Selalu”, dengan contoh:

Hasil dari penilaian ini dapat mengklasifikasikan tingkat kesepian dalam tiga kategori:

  • 15-25 poin: Tingkat kesepian tinggi.
  • 11-14 poin: Tingkat kesepian sedang.
  • 5-10 poin: Tingkat kesepian rendah.

Apa yang Bisa Dilakukan Perusahaan di Tahun 2025?

Dengan memahami tingkat isolasi sosial di tempat kerja melalui alat ini, perusahaan dapat mengambil langkah-langkah yang lebih tepat untuk mengurangi kesepian dan membangun koneksi antar karyawan. Beberapa strategi yang bisa diterapkan meliputi:

  • Membangun Kepercayaan dan Keterbukaan
    Menyediakan platform bagi karyawan untuk berbagi perasaan dan pengalaman mereka secara terbuka tanpa takut dihukum. Hal ini menciptakan ruang bagi karyawan untuk merasa dihargai dan terhubung satu sama lain.
  • Fasilitasi Interaksi yang Bermakna
    Menyediakan kesempatan bagi karyawan untuk berinteraksi dalam setting sosial, seperti kegiatan tim, diskusi informal, atau pertemuan sosial di luar pekerjaan. Interaksi seperti ini penting untuk mengurangi rasa kesepian dan meningkatkan hubungan antar rekan kerja.
  • Membangun Budaya Kerja yang Inklusif
    Memastikan bahwa semua karyawan merasa diterima, dihargai, dan memiliki akses yang setara untuk berkontribusi dalam pekerjaan. Ini bisa dilakukan melalui komunikasi yang lebih baik dan pengembangan budaya yang lebih kolaboratif di tempat kerja.

Dengan ketiga langkah ini, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif, mengurangi kesepian di tempat kerja, dan mendorong kolaborasi yang lebih produktif antar karyawan. Selain itu, memberikan penghargaan dan merayakan keberhasilan kerja tim juga berperan penting dalam menciptakan budaya yang mendukung kesejahteraan sosial dan profesional karyawan.

Employee Engagement sebagai Produk Strategis

Terdapat perubahan penting di tahun 2024 dalam bagaimana perusahaan melihat dan mengelola employee engagement atau keterlibatan karyawan. Satu hal yang selama ini dianggap sebagai indikator kepuasan atau motivasi semata, kini semakin bergeser dipandang sebagai sebuah produk strategis yang perlu terus dikembangkan dan diperbaharui untuk mencapai hasil maksimal.

Keterlibatan akan selalu penting karena dalam ekosistem yang terus berubah, perusahaan idealnya dapat memadukan keterlibatan karyawan dengan tujuan strategis jangka panjang perusahaan. Keterlibatan karyawan bukan lagi sekedar angka atau survey, melainkan sebuah perjalanan holistik yang berfokus pada keberlanjutan dan pencapaian tujuan bersama antara perusahaan dan karyawan.

Baca juga: Pengertian Employee Engagement dan Cara Meningkatkannya

Pergeseran Point of View: Karyawan = Pelanggan

The EX-CX Connection Framework

Harvard Business Review menyatakan “Jika perusahaan memperlakukan karyawan dengan cara yang sama seperti mereka menomorsatukan pelanggan, retensi dan keterlibatan karyawan akan meningkat secara signifikan.” 

Secara konteks, perlakuan yang sama pada karyawan disini layaknya customer experience. Perusahaan secara berkala menghimpun feedback dari karyawan dan meresponsnya dengan tindakan untuk memperbaiki employee experience guna menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif, di mana karyawan merasa dihargai, terlibat, dan termotivasi untuk berkontribusi lebih baik pada kesuksesan perusahaan. Dengan beberapa contoh: 

  • Asana: Perusahaan software kolaborasi Asana, yang didirikan oleh Dustin Moskovitz (co-founder Facebook), memperkenalkan konsep “leadership product” untuk meningkatkan pengalaman kerja karyawan. Perusahaan ini  secara rutin mengumpulkan feedback dari karyawan mengenai kepuasan kerja mereka. Pendekatan ini menyerupai proses desain produk, di mana kebutuhan karyawan diperlakukan seperti request dari pelanggan.
    Hasilnya, Asana secara proaktif mengimplementasikan perubahan untuk meningkatkan daya tarik pekerjaan secara signifikan. 
  • Eli Lilly: Perusahaan farmasi global Eli Lily menerapkan metode yang biasanya digunakan untuk meningkatkan customer experience sebagai sarana yang sama untuk meningkatkan employee experience. Salah satu langkah utama mereka adalah memetakan perjalanan karyawan (employee journey) secara mendalam. Pendekatan ini memungkinkan Eli Lily untuk mengidentifikasi kebutuhan karyawan dengan lebih baik dan menciptakan strategi yang meningkatkan employee engagement di seluruh lini organisasi.
  • Shopify: Perusahaan e-commerce asal Kanada Shopify menyadari bahwa seperti halnya pelanggan memiliki kebutuhan yang berbeda, karyawan juga memiliki kebutuhan yang beragam, terutama dalam hal kompensasi.
    Sebagai contoh, seorang karyawan yang sedang menabung untuk uang muka rumah mungkin lebih memilih gaji yang maksimal. Sebaliknya, mereka yang berada di tahap awal atau akhir kariernya, dengan toleransi risiko yang lebih tinggi, cenderung memilih kompensasi berbasis saham yang memiliki potensi keuntungan lebih besar.
    Menjawab kebutuhan ini, pada tahun 2022, Shopify meluncurkan program Flex Comp. Program ini memungkinkan karyawan memilih kombinasi antara gaji tunai dan kompensasi berbasis saham sesuai dengan preferensi dan kebutuhan mereka.

Cara Implementasi Employee Engagement sebagai Produk Perusahaan

Untuk memperlakukan keterlibatan karyawan sebagai produk strategis yang terus dapat ditingkatkan, perusahaan perlu mengadopsi pendekatan yang sistematis dan berkelanjutan. Berikut adalah langkah-langkah konkret yang dapat diterapkan:

1. Segmentasi Pengalaman Karyawan

Seperti pelanggan yang memiliki kebutuhan berbeda, karyawan juga terdiri dari berbagai segmen dengan kebutuhan dan prioritas yang beragam. Perusahaan dapat:

  • Menganalisis data demografi dan karier: Identifikasi kelompok karyawan berdasarkan usia, tahap karir, lokasi, atau preferensi kerja.
  • Mengumpulkan feedback berbasis segmen: Gunakan survei atau wawancara untuk memahami kebutuhan spesifik setiap segmen, seperti kompensasi, peluang pengembangan, atau fleksibilitas kerja.
  • Menyediakan solusi yang disesuaikan: Misalnya, tawarkan program mentoring untuk karyawan muda atau opsi pensiun dini bagi karyawan senior.

2. Ciptakan Program Engagement yang Dinamis

Program engagement tidak boleh statis. Perusahaan perlu menciptakan inisiatif yang terus diperbarui sesuai dengan perubahan kebutuhan karyawan dan dinamika bisnis.

  • Iterasi Berdasarkan Feedback: Contoh seperti di Asana, di mana perusahaan rutin mengumpulkan feedback untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik.
  • Pemetaan Employee Journey: Mengikuti contoh dari Eli Lilly, perusahaan dapat memetakan perjalanan karyawan untuk mengidentifikasi momen-momen kunci dalam pengalaman kerja mereka, seperti onboarding, promosi, atau transisi ke peran baru.
  • Penggunaan Teknologi: Manfaatkan data analytics dan platform HR untuk memonitor engagement secara real-time dan merespons perubahan dengan cepat.

3. Fokus pada Keseimbangan Antara Karyawan dan Perusahaan

Keterlibatan karyawan harus didasarkan pada prinsip keberlanjutan—keseimbangan antara kebutuhan karyawan dan tujuan perusahaan.

  • Fleksibilitas Kompensasi: Meniru langkah Shopify dengan Flex Comp, perusahaan dapat memberikan opsi kepada karyawan untuk memilih struktur kompensasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
  • Tujuan Bersama: Komunikasikan visi dan tujuan perusahaan dengan jelas, sehingga karyawan merasa terhubung dan berkontribusi terhadap pencapaian bersama.
  • Investasi dalam Kesejahteraan: Perusahaan harus melihat kesejahteraan fisik, mental, dan finansial karyawan sebagai elemen inti dari engagement, misalnya melalui program keseimbangan kerja-hidup atau dukungan kesehatan mental.

Kesimpulan

Tahun 2024 membawa tiga tantangan besar bagi HR: dampak panjang PHK, work loneliness, dan evolusi employee engagement sebagai produk strategis. Gelombang PHK mempengaruhi motivasi karyawan lama, sementara optimisme karyawan baru hanya memberikan efek sementara. Fenomena work loneliness, yang sering diasumsikan akibat kerja remote, ternyata lebih kompleks dan mempengaruhi kolaborasi hingga kesehatan mental.

Employee engagement kini dipandang sebagai produk yang harus terus disempurnakan. Contoh dari Asana, Eli Lilly, dan Shopify menunjukkan bahwa pendekatan berbasis data, segmentasi kebutuhan karyawan, serta inovasi fleksibel mampu meningkatkan pengalaman kerja sekaligus mendukung tujuan bisnis.

Untuk tahun 2025, perusahaan idealnya dapatmemprioritaskan keseimbangan antara kebutuhan karyawan dan strategi bisnis dengan pendekatan yang inklusif, berbasis data, dan berkelanjutan. Langkah ini tidak hanya menciptakan lingkungan kerja yang sehat, tetapi juga memastikan daya saing jangka panjang.

Apakah artikel ini membantu?
YaTidak

Share:

Scroll to Top

2025

Talentics

PT. Semesta Integrasi Digital.