Dalam beberapa tahun terakhir, konsep Diversity, Equity, & Inclusion (DEI) semakin sering dibahas di dunia kerja global. Namun, di Indonesia, istilah ini masih relatif baru dan belum menjadi perhatian utama bagi banyak perusahaan. Padahal, jika diperhatikan lebih dalam, elemen-elemen DEI sebenarnya sudah ada dalam praktik sehari-hari, meskipun sering kali tidak disadari atau belum diimplementasikan secara sistematis.
Keberagaman bukanlah hal asing di Indonesia. Dengan latar belakang suku, budaya, dan bahasa yang beragam, interaksi di tempat kerja secara alami melibatkan banyak perspektif.
Namun, dalam praktiknya, masih ada kebiasaan yang justru bertentangan dengan prinsip DEI, seperti persyaratan usia dan gender dalam perekrutan, akses yang terbatas bagi individu dengan disabilitas, atau kecenderungan perusahaan merekrut talenta dari lingkungan tertentu saja.
Hal-hal tersebut secara tidak sadar dianggap wajar, padahal jika dikelola dengan lebih baik, keberagaman justru bisa menjadi kekuatan bagi perusahaan. Pembahasan bagian selanjutnya akan menguraikan lebih dalam tentang definisi serta nilai inti DEI yang dapat diaplikasikan dalam konteks dunia kerja di Indonesia.
Definisi dan Nilai Inti DEI dalam Dunia Kerja
Diversity, Equity, & Inclusion (DEI) bukan sekadar konsep abstrak, tetapi prinsip yang dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan produktif. Untuk memahami penerapannya, penting untuk melihat bagaimana ketiga elemen ini bekerja secara bersamaan dalam dinamika organisasi.
- Diversity atau keberagaman mengacu pada perbedaan yang ada di dalam suatu organisasi, baik dari segi gender, usia, latar belakang pendidikan, hingga pengalaman profesional. Di Indonesia, keberagaman ini sebenarnya sudah terjadi secara alami, terutama karena latar belakang sosial dan budaya yang sangat beragam.
- Equity atau kesetaraan sering kali disalahartikan sebagai perlakuan yang sama untuk semua orang. Padahal, dalam konteks DEI, kesetaraan berarti memberikan akses dan kesempatan yang adil, dengan mempertimbangkan kebutuhan serta tantangan yang berbeda bagi setiap individu.
- Sementara itu, Inclusion atau inklusif adalah bagaimana dua konsep sebelumnya yaitu keberagaman dan kesetaraan tersebut diterapkan dalam budaya organisasi. Lingkungan kerja yang inklusif memastikan bahwa setiap individu, tanpa melihat latar belakangnya, memiliki suara dan dihargai dalam proses pengambilan keputusan.
inklusif tidak bisa hanya menjadi kebijakan di atas kertas, tetapi harus tercermin dalam cara organisasi membangun interaksi, menyusun kebijakan, serta menciptakan peluang yang sama bagi seluruh karyawan.
Dalam konteks dalam negeri, memahami DEI bukan sekadar tentang mengadopsi standar global, tetapi bagaimana nilai-nilai ini dapat diselaraskan dengan budaya kerja yang sudah ada. Dengan pendekatan yang tepat, perusahaan tidak hanya menciptakan lingkungan yang lebih adil, tetapi juga mampu memaksimalkan potensi talenta yang dimilikinya.
Pada bagian berikutnya, kita akan melihat bagaimana elemen-elemen DEI sebenarnya telah lama hadir dalam dunia kerja Indonesia, meskipun sering kali tidak disadari.
Penerapan Konsep DEI yang sudah berjalan di dunia kerja

Meskipun konsep Diversity, Equity, & Inclusion (DEI) masih tergolong baru di Indonesia, elemen-elemen dari prinsip ini sebenarnya sudah ada dalam praktek dunia kerja, meskipun sering kali tidak disadari atau belum diterapkan secara strategis.
Diversity / Keberagaman: Sudah Terjadi, tetapi Belum Dikelola Secara Maksimal
Indonesia adalah negara dengan keberagaman tinggi, hal ini tercermin dalam dunia kerja. Perusahaan di berbagai sektor memiliki tenaga kerja dengan latar belakang budaya, bahasa, dan daerah yang berbeda. Di beberapa industri, keberagaman ini bahkan menjadi kekuatan karena memungkinkan perusahaan memahami kebutuhan pelanggan dari berbagai segmen.
Namun, meskipun keberagaman ini sudah ada secara alami, belum semua perusahaan memiliki strategi untuk memanfaatkannya secara optimal.
Masih banyak organisasi yang menerapkan kebijakan rekrutmen dengan batasan usia, gender, atau latar belakang pendidikan tertentu. Misalnya, beberapa perusahaan hanya membuka peluang bagi lulusan dari universitas tertentu atau membatasi kandidat berdasarkan domisili. Kebiasaan ini tanpa disadari menghambat potensi keberagaman yang sebenarnya bisa memperkaya perspektif dan inovasi dalam bisnis.
Equity / Kesetaraan: Ada di Beberapa Kebijakan, tetapi Masih Terbatas
Beberapa prinsip equity atau kesetaraan sudah diterapkan dalam dunia kerja Indonesia, seperti kebijakan cuti melahirkan bagi karyawan perempuan atau program fleksibilitas kerja bag working mom. Beberapa langkah ini menunjukkan pengakuan kesetaraan bahwa individu memiliki tantangan yang berbeda dan membutuhkan dukungan khusus agar memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang.
Namun, masih banyak aspek yang belum sepenuhnya terakomodasi. Misalnya, aksesibilitas bagi individu dengan disabilitas masih menjadi tantangan besar, baik dari segi infrastruktur fisik maupun fleksibilitas pekerjaan. Selain itu, kesempatan untuk menempati posisi strategis seringkali lebih mudah diperoleh oleh mereka yang berasal dari latar belakang tertentu, sementara individu berbakat dari latar belakang yang kurang diuntungkan masih menghadapi hambatan yang lebih besar.
Inclusion atau Inklusif: Ada dalam Budaya, tetapi Belum Selalu Terstruktur
Salah satu nilai yang paling dekat dengan prinsip inklusi adalah budaya gotong royong, yang telah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Banyak organisasi memiliki tradisi mentoring informal, di mana karyawan senior membimbing junior dalam beradaptasi dan berkembang di dunia kerja. Ini mencerminkan inklusivitas dalam bentuk kolaborasi dan dukungan antarindividu.
Namun, inklusif dalam konteks kebijakan perusahaan masih memiliki tantangan. Dalam pengambilan keputusan strategis, masih ada kecenderungan bahwa hanya suara dari kelompok tertentu yang didengar, sementara perspektif karyawan dari latar belakang berbeda kurang diperhitungkan. Selain itu, belum semua perusahaan memiliki mekanisme untuk memastikan bahwa setiap individu merasa dihargai dan memiliki akses yang sama terhadap peluang karier.
Agar prinsip DEI benar-benar berdampak pada budaya kerja dan produktivitas bisnis, perusahaan perlu mulai mengidentifikasi area yang perlu diperkuat. Langkah konkret dalam membangun strategi DEI yang lebih sistematis akan menjadi fokus pembahasan pada bagian berikutnya.
Data Pendukung Diversity, Equity, dan Inclusion
Beberapa jenis pekerjaan seringkali dianggap lebih identik atau diasosiasikan dengan satu gender tertentu, terutama yang mengutamakan kemampuan kognitif seperti pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Banyak yang beranggapan bahwa pekerjaan yang membutuhkan kemampuan berpikir logis dan analitis, seperti di bidang teknologi, engineering, atau investasi keuangan, lebih cocok diberikan kepada salah satu gender, yakni laki-laki.
Namun, temuan dari perhitungan statistik oleh Talentics menunjukkan hasil yang berbeda dan menarik. Hasil analisis terhadap 89.750 data yang diwakili oleh 42.516 perempuan dan 47.234 laki-laki menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara skor persentase peserta perempuan dan laki-laki yang mengikuti Cognitive Ability Test (CAT). Meskipun ada sedikit perbedaan pada skor rata-rata 0,4 poin dan median 2 poin antara perempuan dan laki-laki, perbedaan tersebut tidaklah signifikan.

Hasil ini membuktikan bahwa kemampuan kognitif bukanlah faktor yang ditentukan oleh gender, melainkan oleh kapasitas individual masing-masing. Oleh karena itu, pandangan yang menyatakan bahwa “laki-laki lebih rasional dibandingkan perempuan” atau sebaliknya adalah sebuah bias gender yang tidak berdasar.
Dengan data ini, perusahaan dapat mulai menerapkan prinsip keberagaman (diversity), kesetaraan (equity), dan inklusi (inclusion) dalam proses seleksi serta menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan terbuka bagi semua karyawan, tanpa memandang gender.
Dengan data ini, perusahaan dapat mulai melakukan pemetaan kemampuan dan penilaian yang lebih objektif. Proses seleksi dan pengembangan karyawan seharusnya tidak lagi bergantung pada faktor subjektif seperti kedekatan personal atau latar belakang tertentu, tetapi berdasarkan data yang terukur, dapat dikualifikasi secara profesional, dan dipertanggungjawabkan. Dengan pendekatan ini, prinsip keberagaman (diversity), kesetaraan (equity), dan inklusi (inclusion) dapat diterapkan secara lebih sistematis, menciptakan lingkungan kerja yang adil, terbuka, dan berorientasi pada kompetensi.
5 Strategi DEI Berbasis Data

Agar benar-benar berdampak, pendekatan DEI harus berbasis data, terukur, dan terintegrasi dalam strategi bisnis. Banyak perusahaan sudah memahami pentingnya DEI, namun masih kesulitan dalam implementasi. Menurut Harvard Business Review, ada lima strategi utama untuk memperbaiki dan meningkatkan diversity, equity, and inclusion (DEI) di perusahaan.
- Ukur, Bandingkan, dan Evaluasi Perkembangan
Seperti strategi bisnis lainnya, DEI perlu ditargetkan, diukur, dan dibandingkan secara berkala. Jika sebuah perusahaan memiliki representasi yang lebih rendah dari kelompok tertentu dibandingkan pasar tenaga kerja lokal atau kompetitor, maka perlu ada target peningkatan yang jelas.
Namun, pengumpulan data saja tidak cukup. Analisis yang tepat harus dilakukan untuk mengidentifikasi hambatan, dan hasilnya perlu dibagikan kepada pemangku kepentingan internal maupun eksternal agar ada akuntabilitas dalam implementasinya.
- Gunakan Mekanisme Pengaduan Anonim
Sistem pengaduan formal sering kali membuat karyawan enggan melaporkan diskriminasi atau pelecehan karena takut akan retaliasi. Bahkan, banyak laporan justru berujung pada dampak negatif bagi pelapor, baik dalam bentuk hambatan karier maupun tekanan psikologis.
Sebagai solusi, perusahaan dapat menerapkan program bantuan karyawan yang dikelola secara internal dan independen. Mekanisme ini memberikan ruang bagi karyawan untuk melaporkan masalah secara aman, mendapatkan bimbingan, dan mencari solusi tanpa risiko terhadap karier mereka.
Penting untuk memastikan bahwa sistem ini anonim, independen, dan memiliki tindak lanjut yang jelas. Dengan begitu, keluhan tidak hanya ditampung, tetapi juga dijadikan masukan berharga untuk memperbaiki kebijakan dan budaya organisasi, tanpa adanya persekusi terhadap pelapor.
- Audit Teknologi untuk Mencegah Bias
Teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses rekrutmen dan evaluasi kinerja. Namun, tanpa pengujian yang cermat, teknologi justru dapat memperkuat bias yang sudah ada, baik berdasarkan gender, ras, maupun faktor sosial lainnya.
Untuk menghindari diskriminasi yang tidak disengaja, perusahaan perlu memastikan bahwa algoritma maupun sistem penilaian yang digunakan dalam proses seleksi dan evaluasi dibangun dengan data yang adil dan relevan. Selain itu, sebelum diterapkan, teknologi harus melalui uji dampak guna melihat apakah terdapat kecenderungan bias terhadap kelompok tertentu.
Setelah sistem digunakan, penting untuk melakukan audit berkala untuk mengevaluasi apakah teknologi tersebut memberikan hasil yang netral dan adil. Dengan kombinasi desain yang inklusif dan pemantauan yang berkelanjutan, perusahaan dapat memastikan bahwa teknologi mendukung keberagaman, bukan malah menghambatnya.
- Hindari Bias Akibat ‘Small-N Problem’
Ketika jumlah individu dari kelompok yang kurang terwakili sangat kecil dalam suatu organisasi, mereka cenderung lebih rentan terhadap stereotip dan tokenisme. Fenomena ini disebut “Small-N Problem”, di mana mereka lebih sering dinilai berdasarkan identitasnya, bukan kompetensinya.
Salah satu cara untuk mengatasi tantangan ini bukan hanya dengan meningkatkan jumlah mereka secara langsung, tetapi juga dengan meningkatkan visibilitas mereka dalam organisasi. Perusahaan dapat memberikan lebih banyak kesempatan bagi individu dari kelompok ini untuk tampil dalam berbagai forum penting. Misalnya:
- Memberikan peran dalam acara tahunan perusahaan, seperti menjadi moderator atau panelis dalam sesi diskusi.
- Mengirimkan mereka ke konferensi atau seminar sebagai perwakilan perusahaan, yang tidak hanya meningkatkan eksposur mereka tetapi juga memperkaya pengalaman profesional mereka.
- Melibatkan mereka dalam proyek lintas tim atau lintas divisi yang dapat memperluas jaringan dan pengaruh mereka di dalam perusahaan.
Pendekatan ini membantu membangun persepsi yang lebih objektif terhadap kompetensi mereka, sekaligus menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung pertumbuhan karier berdasarkan pencapaian nyata.
- Libatkan Manajer dari Awal
Banyak inisiatif DEI gagal bukan karena kebijakan yang buruk, tetapi karena kurangnya keterlibatan manajer dalam proses perancangannya. Sering kali, program keberagaman dibuat oleh tim khusus dan baru disosialisasikan ke manajer tanpa mempertimbangkan bagaimana kebijakan tersebut dapat diterapkan di lapangan.
Untuk memastikan keberhasilan program, perusahaan perlu melibatkan manajer sejak tahap perencanaan. Dengan pendekatan ini, mereka tidak hanya memahami tujuan DEI tetapi juga merasa memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikannya.
Selain itu, perusahaan harus memastikan bahwa kebijakan yang dibuat relevan dengan dinamika kerja sehari-hari dan tidak hanya menjadi tambahan administratif yang membebani manajer. Dengan demikian, program DEI dapat berjalan lebih efektif, mendapatkan dukungan dari para pemimpin tim, dan menghasilkan dampak yang lebih berkelanjutan.
Kesimpulan
Penerapan Diversity, Equity, & Inclusion (DEI) di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kebiasaan rekrutmen yang kurang inklusif hingga bias yang tidak disadari dalam pengambilan keputusan. Meski konsep ini relatif baru, elemen-elemen DEI sebenarnya sudah ada dalam praktik kerja sehari-hari, hanya saja belum dikelola secara sistematis.
Agar DEI dapat berjalan efektif, perusahaan perlu mengukur dan mengevaluasi perkembangan, menyediakan mekanisme pengaduan anonim, serta menghindari bias dalam penggunaan teknologi. Selain itu, penting untuk meningkatkan visibilitas kelompok minoritas dan melibatkan manajer sejak awal agar strategi DEI benar-benar terintegrasi dalam budaya kerja.
Dengan pendekatan berbasis data dan implementasi yang strategis, DEI bukan hanya meningkatkan keadilan di tempat kerja, tetapi juga membuka peluang lebih luas bagi talenta terbaik untuk berkembang dan berkontribusi secara maksimal.
