Agility secara literal adalah kemampuan seseorang untuk bergerak cepat (tangkas, lincah). Pada awalnya konsep ini erat kaitannya dengan kegiatan atletik, kemudian diadopsi menjadi lebih menyeluruh di berbagai lini kehidupan. Agility membuat seseorang mampu berpikir, memecahkan masalah, dan kreatif di tempat kerja. Agility pun juga mengacu pada kecerdasan emosi dan intelektual seseorang.
Hal ini berarti jika talenta perusahaan memiliki agility, ia berarti dapat dengan cepat dan mudah menyesuaikan diri dengan situasi apapun. Meski dalam tekanan sekalipun, talenta yang agile memiliki ketahanan kerja yang baik. Seseorang yang agile merupakan salah satu indikator talenta berkualitas, karena pada praktiknya, menerapkan agility tidaklah semudah yang dibayangkan.
Lima Komponen Utama Agility
Talenta yang agile idealnya harus melatih lima komponen penting dalam dirinya, yaitu:
1. Mental Agility
Talenta perlu berupaya melatih mental agility atau kemampuan berpikirnya, terutama kaitannya dengan pemecahan masalah yang kompleks. Seseorang dengan agility yang baik harus mampu menawarkan solusi yang terstruktur dan sistematis sehingga permasalahan dapat diselesaikan dengan cara yang efektif meski sumber daya yang dimiliki terbatas, terlebih dalam situasi yang penuh ketidakpastian seperti pandemi saat ini.
Talenta dengan mental agility yang terlatih dapat dengan mudah diidentifikasi dari caranya berpendapat dalam tim, sikapnya yang tidak mudah mengeluh, dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik.
2. People Agility
Seseorang perlu melatih kecerdasan emosionalnya untuk dapat menjadi agile. Talenta yang cerdas secara emosional dapat menyadari perasaan dirinya dan memiliki kepekaan terhadap sekitar. People agility yang dilatih dengan baik melahirkan individu yang mampu mengelola emosinya dalam keadaan apapun.
Talenta dengan people agility menggunakan kemampuannya untuk membangun hubungan sosial yang berempati pada sesama, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga menjadikan talenta bersangkutan mampu memotivasi dirinya sendiri dalam melakukan perkembangan.
3. Change Agility
Talenta yang memiliki agility harus menerapkan pola pikir terbuka (growth mindset) dalam rangka melatih change agility. Talenta pada kategori ini tidak anti terhadap perubahan, menjadikan kesalahan sebagai sarana belajar dan memperbaiki diri dibanding merundung dan merutuki nasib.
Growth mindset merupakan ciri dari talenta yang telah memahami change agility. Mereka yang berada dalam kategori ini percaya pada kemampuan diri sendiri dan meyakini tidak ada kesalahan yang tidak bisa diperbaiki. Change agility yang dimiliki talenta perusahaan Anda dapat meningkatkan kinerja mereka di lapangan karena talenta-talenta tersebut menyukai perubahan dan berani mencoba hal baru.
4. Result Agility
Talenta dengan agility terbaik dapat memberikan hasil terbaik dalam situasi sulit sekalipun (result agility). Anda dapat dengan mudah menemukan talenta ini dalam kejadian sehari-hari, misalnya ketika ia ditimpa musibah, ia tetap dapat menyelesaikan pekerjaannya sesuai ketentuan yang berlaku.
Talenta mampu menghadapi tantangan dan memimpin orang lain di sekitarnya untuk memberikan kinerja terbaik dalam pekerjaan yang digeluti. Talenta dalam kategori ini melatih dirinya untuk tekun dan bersungguh-sungguh (passionate) dalam bekerja.
5. Self-awareness
Dalam upaya menjadi individu yang agile, talenta perusahaan perlu melatih self-awareness. Agility didapatkan dari seseorang yang terbiasa untuk menyadari dan mengevaluasi dirinya sendiri. Talenta yang memahami kelebihan dan kekurangannya terbuka pada kritik yang diberikan orang lain. Mereka justru berani meminta pendapat orang lain atas kinerja maupun kemampuan pribadinya.
Membangun Agility di Perusahaan Anda
Selayaknya persoalan ayam dan telur, membangun budaya agility di perusahaan memang membutuhkan talenta dengan kemampuan agility yang baik. Sebaliknya, talenta-talenta perusahaan dapat menjadi agile jika perusahaan tersebut menerapkan agility di dalam keseharian. Dengan kata lain, perusahaan yang mengadopsi konsep agility akan menarik talenta yang agile pula.
Perusahaan yang gagal menerapkan agility akan kehilangan kesempatan mencapai tujuan-tujuan yang telah direncanakan. Hal ini pernah dialami oleh Blue Bird di tahun 2016 silam. Diceritakan melalui Kumparan, Noni Purnomo, Direktur Utama Blue Bird, menyebutkan bahwa pendapatan perusahaan merosot tajam karena ada peralihan tren pengguna taksi offline ke taksi/ojek online. Noni menambahkan bahwa ada kemungkinan pihaknya tidak peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat. Meski sebenarnya, Blue Bird pernah meluncurkan aplikasi pemesanan armada melalui telepon genggam di tahun 2011.
Berbekal pengalaman sebelumnya, Blue Bird bangkit dengan kembali mengembangkan aplikasi yang dinamakan My Blue Bird guna memenuhi kebutuhan pelanggan. Selain itu, Blue Bird juga berkolaborasi dengan GoJek dan Traveloka. Hasilnya di tahun 2018, pendapatan bersih perusahaan Blue Bird perlahan naik menjadi Rp 457 miliar dari Rp 424 miliar di tahun sebelumnya. Sebesar 40 persen pendapatan ini bersumber dari pemesanan tiga aplikasi tersebut, sedangkan 60 persennya masih berasal dari pemesanan konvensional.
Berdasarkan kasus Blue Bird, dapat disimpulkan bahwa penting bagi perusahaan untuk proaktif dalam mengidentifikasi masalah yang perlu ditangani, memecahkannya dengan solusi tepat dalam waktu yang singkat, dan menggunakan analisis berbasis data dalam menyusun perencanaan, untuk kemudian menargetkan program kerja yang memiliki peluang keberhasilan tertinggi. Dengan kata lain, penting bagi perusahaan untuk menerapkan agility.
Perusahaan Anda dapat memulainya dengan menjadi fleksibel. Maksudnya dalam menyeimbangkan antara biaya, tujuan yang ingin dicapai, dan agility itu sendiri. Perlu adanya upaya analisis performa kerja perusahaan, menentukan bagian mana yang menjadi kekuatan dan kelemahan perusahaan.
Hal tersebut tentunya dapat dicapai dengan melakukan analisis pasar untuk menentukan spesifikasi talenta yang dibutuhkan. Jika agility merupakan salah satunya, maka perusahaan perlu menyelaraskan strategi perekrutan yang kompeten. Jika perlu, melakukan modifikasi strategi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja saat ini karena strategi perekrutan yang pernah dipakai belum tentu relevan.
Selain itu, perusahaan dapat mencapai agility dalam budaya kerja dengan menciptakan kultur belajar dalam lingkungan kerja dan menyediakan jenjang karir yang jelas untuk talenta perusahaan, dan tentunya menerapkan digitalisasi sesuai perkembangan zaman.
Anda dapat mencapai ini dengan berinvestasi pada teknologi terkini yang dapat membantu proses perekrutan, mempekerjakan talenta tambahan, mengalihdayakan sebagian atau seluruh proses talent acquisition ke pihak ketiga (misalnya perusahaan penyedia outsourcing, konsultan HR) yang dapat menjadi partner dalam menemukan talenta berkualitas.
Misalnya, pada era pandemi dan penerapan digitalisasi di berbagai lini, perusahaan dapat menggunakan online assessment untuk merekrut talenta baru. Pahami juga bahwa Anda dapat mengukur kompentensi karyawan dengan agility yang baik menggunakan asesmen yang tepat. Perubahan ini dapat menguntungkan perusahaan karena hasilnya berdasarkan pada data sehingga tidak rawan bias maupun penilaian subjektif.
Rapat produktif berdurasi maksimal 30 menit pun dapat menjadi salah satu cara konkrit untuk memulai agility di perusahaan yang Anda kelola. Perusahaan raksasa berskala internasional (seperti Google, Tesla, Facebook) sudah banyak menerapkan kebiasaan ini karena dinilai lebih efektif dalam menjangkau solusi terhadap permasalahan yang tengah dihadapi. Setiap komponen perusahaan yang terkait diwajibkan menyiapkan data-data yang diperlukan sebelum rapat dimulai dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Sayangnya banyak perusahaan di Indonesia yang belum menerapkan kebiasaan ini. Alih-alih mempersingkat pembicaraan pada pokok permasalahan, seringkali rapat berlangsung terlalu lama tanpa membuahkan hasil apa-apa. Sisi baiknya, perusahaan Anda boleh jadi selangkah lebih maju karena telah menyimak pembahasannya melalui artikel ini.
Perusahaan di Indonesia yang bertahan dengan strategi lama dan enggan melakukan perubahan dalam mengelola talentanya akan habis dimakan zaman. Johnny Widodo, CEO OLX Autos memberikan alasan terkait hal ini melalui Daily Social. Ia menyatakan bahwa perusahaan besar cenderung sulit melakukan perubahan drastis, karena persoalan birokrasi memang rumit dan tidak bisa dihindari
Namun sebagai pelaku bisnis, pemegang kepentingan, pemimpin perusahaan, hingga praktisi HR, sudah sepantasnya mengadopsi agility dalam menghadapi perubahan. Jika tidak dapat dilakukan sekaligus, maka dapat diawali dengan menggabungkan kultur kerja lama dengan penerapan teknologi yang diiringi dengan kepekaan informasi, agar perusahaan dapat tetap bertahan di tengah persaingan dan situasi serba tidak pasti seperti saat ini.
Article Editor: Nadia Fernanda
Image credits: Pexels
