Table of Contents

Jelajahi platform kami sekarang

Dapatkan Insights HR terbaru dengan berlangganan Newsletter Kami

Related Posts

Quiet Quitting dan Loud quitting dalam Sudut Pandang HR

Mengulas fenomena quiet dan loud quitting, serta memberikan wawasan bagaimana praktisi HR perlu merespon tantangan ini dan berupaya untuk terus meningkatkan keterlibatan profesional karyawan.

Survey yang dilakukan oleh Gallup bernama State of the Global Workplace 2023 Report menyatakan bahwa 63% karyawan di Asia Tenggara berada dalam kondisi quiet quitting, 6% dalam posisi loud quitting, dan hanya sekitar 26% yang merasa engaged atau terkoneksi secara positif dengan tempat kerjanya. 

Artikel ini akan mengulas fenomena quiet dan loud quitting, serta memberikan wawasan bagaimana praktisi HR perlu merespon tantangan ini dan berupaya untuk terus  meningkatkan keterlibatan profesional karyawan, sehingga perusahaan tetap produktif dan dapat mencapai profit yang optimal.

Apa itu Quiet Quitting?

Dalam konteks dunia kerja, quiet quitting mengacu pada kondisi di mana karyawan berada di tempat kerja, namun secara emosional dan psikologis, mereka tidak terlibat atau terkoneksi dengan pekerjaan mereka. 

Mereka melakukan tugas-tugas minimum yang dibutuhkan, tanpa memberikan kontribusi lebih atau merasa memiliki tanggung jawab terhadap kinerja mereka. Karyawan yang mengalami quiet quitting cenderung merasa kehilangan arah dan merasa tidak memiliki kewajiban untuk terkoneksi secara optimal dengan lingkungan kerja, yang pada akhirnya dapat mengarah pada stres dan kelelahan mental.

Dalam sudut pandang HR, quiet quitting adalah situasi yang perlu dikenali dan ditangani dengan serius. Kehilangan keterlibatan dan koneksi emosional dari karyawan dapat berdampak negatif pada produktivitas, kualitas kerja, dan akhirnya, citra perusahaan. Meningkatkan tingkat keterlibatan karyawan atau employee engagement idealnya menjadi fokus utama bagi praktisi HR guna mencegah quiet quitting masuk pada tahap berikutnya, bisa jadi pengunduran diri karyawan tersebut  atau fenomena lainnya, loud quitting.
Baca juga: 9 Program untuk Meningkatkan Employee Engagement

Apa itu Loud Quitting?

Loud quitting adalah tahap yang lebih lanjut dari quiet quitting, dimana karyawan bukan hanya merasa tidak terlibat secara emosional dengan pekerjaan mereka, tetapi juga mengambil tindakan nyata untuk mengekspresikan ketidakpuasan dan ketidaksetujuan terhadap peraturan atau kebijakan perusahaan secara terang-terangan melalui tindakan yang dapat merusak dinamika tim, memperkeruh hubungan dengan rekan kerja, atau bahkan bertentangan dengan tujuan dan arahan perusahaan.

Dalam perspektif HR, loud quitting adalah peringatan serius bahwa ada masalah yang lebih dalam yang perlu segera ditangani. Tindakan-tindakan dari karyawan yang mengganggu produktivitas tim dan perusahaan tersebut dapat mencakup berkurangnya produktivitas secara sengaja, meninggalkan tugas-tugas yang belum selesai, atau bahkan menyebarkan sentimen negatif di tempat kerja. 

Namun, fenomena ini juga dapat menjadi peluang untuk mendengarkan aspirasi para karyawan yang vokal untuk memberikan solusi yang kreatif, dan membangun hubungan yang lebih kuat. Pengungkapan tanda-tanda ketidaksetujuan dapat memicu diskusi yang komprehensif, membuka pintu bagi inovasi, dan mendorong pengembangan budaya kerja yang lebih inklusif dan kolaboratif.
Baca juga: Pengukuran Kesuksesan Survey Employee Engagement

Bagaimana Kondisi Regional dibanding Global dan Tahun Sebelumnya

Penting untuk melihat perbandingan antara kondisi regional dengan tren global serta evolusi dari tahun sebelumnya. Data dari State of the Global Workplace 2023 Report mengungkap perbedaan yang cukup menarik antara kondisi di tingkat global dibandingkan kawasan Asia Tenggara.

  • Keterlibatan Karyawan (Employee Engagement): Secara global, tingkat keterlibatan mencapai 23%, sedangkan di Asia Tenggara, angkanya sedikit lebih tinggi, mencapai 26%. Terdapat peningkatan keterlibatan karyawan sebesar 2% dari tahun sebelumnya. Meskipun peningkatannya tidak lompatan yang signifikan, angka ini tetap menunjukkan adanya tren positif dalam upaya meningkatkan keterlibatan karyawan. Praktisi HR dapat merespons hasil positif ini dengan terus meningkatkan upaya employee engagement yang telah dilakukan dan terus memperbaikinya.

  • Quiet Quitting: Secara global, fenomena quiet quitting mencapai angka 59%, sementara di kawasan Asia Tenggara, angka ini lebih tinggi mencapai 68%. Dengan Penambahan 1% dari tahun sebelumnya. Data ini menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara regional Asia Tenggara dengan global, dimana para pekerja profesional di kawasan ini lebih cenderung untuk melakukan quiet quitting. Praktisi HR perlu merespons data ini dengan melihat kembali data survey employee engagement yang ada di perusahaan dan meninjau ulang strategi yang telah dilakukan agar kondisi perusahaan dapat jauh lebih baik dari data ini. 

  • Loud Quitting: Pada tingkat global, fenomena loud quitting tercatat sebesar 18%, sementara di kawasan Asia Tenggara, angka ini hanya berada pada 6%, persentase ini juga merupakan penurunan 3% dari tahun sebelumnya. Tren Ini merupakan perkembangan yang positif bagi perusahaan, menunjukkan bahwa jumlah karyawan yang secara aktif mengambil tindakan yang mungkin merugikan perusahaan semakin berkurang di kawasan Asia Tenggara. Namun, praktisi HR perlu tetap membuka komunikasi terbuka agar kondisi seperti ini dapat terus dihindari dan ditekan sampai mendekati 0%. 

Kesimpulan

Survey State of the Global Workplace 2023 Report oleh Gallup mengungkapkan kondisi keterlibatan karyawan yang menarik perhatian di Asia Tenggara. 

Dalam hal employee engagement, Asia Tenggara berhasil melampaui rata-rata global dengan peningkatan 2% menjadi 26%, menunjukkan upaya positif dalam meningkatkan engagement. 

Namun, terdapat tantangan serius dalam bentuk fenomena quiet quitting yang mencapai 68%, dengan penambahan 1% dari tahun lalu. Praktisi HR perlu mendekati tantangan ini dengan strategi yang lebih kuat dan mendalam untuk mengatasi hilangnya koneksi emosional karyawan.

Di sisi lain, fenomena loud quitting mengalami penurunan yang cukup baik menjadi 6%, turun 3% dari tahun sebelumnya. Ini menunjukkan upaya perusahaan dalam membangun hubungan yang lebih baik dengan karyawan. Meskipun angka ini positif, tetap penting bagi HR untuk mempertahankan komunikasi terbuka guna mencegah potensi konflik atau masalah yang lebih dalam.

Menghadapi fenomena quit quitting dan loud quitting merupakan suatu tantangan yang cukup menguras energi dan beban kerja. Namun, melalui strategi yang cermat, komunikasi efektif, dan perhatian pada kesejahteraan karyawan, praktisi HR dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif, produktif, dan inklusif. Dengan demikian, perusahaan dapat bergerak maju dengan karyawan yang terlibat, berkontribusi, dan memiliki rasa kepemilikan terhadap prestasi perusahaan. 

References:

Business Insider – Nearly 1 in 5 workers are 'loud quitting' their jobs
CNBC – 1 in 5 employees are ‘loud quitting.’ Here’s why it’s worse than ‘quiet quitting’
Forbes – ‘Loud Quitting’ Is The Next Step From ‘Quiet Quitting
Gallup – State of the Global Workplace: 2023 Report

Image © Karolina Grabowska via Pexels

 
Apakah artikel ini membantu?
YaTidak

Share:

Leave a Reply

On Key
Scroll to Top

Talentics

PT. Semesta Integrasi Digital.