Table of Contents

Jelajahi platform kami sekarang

Dapatkan Insights HR terbaru dengan berlangganan Newsletter Kami

Related Posts

Mengubah ‘Gut Feeling’ Menjadi ‘Good Feeling’

Bukan rahasia lagi bahwa seringkali pengambilan keputusan dalam perusahaan dilakukan berbasis ‘gut feeling’ atau keputusan yang berbekal chemistry hingga berujung pada keputusan ‘he/she is the one’. Lalu, apakah salah?

Bukan rahasia lagi bahwa seringkali pengambilan keputusan dalam perusahaan dilakukan berbasis ‘gut feeling’. Ya, keputusan dalam hiring, training, maupun promosi tidak jarang dilakukan berbekal chemistry yang berujung pada keputusan ‘he/she is the one’, Lalu, apakah salah? Maybe yes, maybe no

Yes, jika sepenuhnya berbasis chemistry tanpa mempertimbangkan compatibility secara obyektif. No, jika chemistry itu dapat didukung dan dibuktikan compatibility-nya secara obyektif.

Hiring kandidat atau promosi karyawan berdasarkan ‘gut feeling’ mungkin akan terasa wajar dilakukan di awal. Namun ketika kandidat atau karyawan tersebut pada akhirnya tidak menunjukkan produktivitas sesuai ekspektasi perusahaan, yakin akan berakhir ‘good feeling’?

Tentu saja hal tersebut berakibat pada wasted costs bukan? 

Tentu cost yang telah dihabiskan untuk proses hiring, training, maupun salary akan menjadi sia-sia.

Belum lagi jika kandidat yang diterima atas dasar gut feeling instead of competency, justru menjadi penyebab penurunan produktivitas perusahaan dan berdampak secara finansial. Not to mention, dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh ‘karyawan yang terjebak’ tersebut terhadap lingkungannya, baik secara sengaja, maupun tidak disengaja.

Niatnya sih curhat terkait ketidakcocokan atau ketidakpuasan pribadi, namun berakhir mempengaruhi pandangan karyawan lain tentang company yang dapat berdampak buruk terhadap Employer Brand secara keseluruhan.

Tidak hanya perusahaan yang dirugikan, namun karyawan pun tentu akan mendapatkan imbasnya. Selain membuang waktu karena terjebak di posisi atau perusahaan yang kurang sesuai compatible dengan dirinya, hal tersebut juga akan berisiko pada psikologis karyawan yang sangat mungkin untuk tergerus kepercayaan dirinya, bahkan bekerja tanpa ‘nyawa’ karena tidak merasakan keterikatan dengan pekerjaan atau perusahaannya.

Belum lagi jika karyawan tersebut sudah melewatkan kesempatannya berkarir yang mungkin saja lebih baik, karena telah dipinang oleh perusahaan kita.

Baca Juga : 7 Recruiting Metrics yang Perlu Diperhatikan dan Cara Menghitungnya

Beruntungnya, segala risiko-risiko gut feeling tersebut sangat mungkin untuk dihindari dengan adanya people analytic. Dengan menggunakan pendekatan people analytic, sangat memungkinkan bagi kita untuk dapat membuat keputusan secara obyektif. Tidak lagi hanya berbasis gut feeling, namun dapat diimbangi juga dengan data yang obyektif. Lebih jauh lagi, people analytic juga dapat membantu menguji efektivitas kebijakan dan berbagai intervensi yang dilakukan.

Jadi, apa sih people analytic itu?

People analytic adalah penggunaan data, teknik pengolahan, atau analisis data untuk dapat memahami, meningkatkan, dan memaksimalkan setiap individu yang terlibat dalam suatu organisasi. 

Jika dulu teknologi saja sudah cukup untuk mengakomodir seluruh kebutuhan organisasi, berbeda halnya dengan saat ini yang justru berorientasi pada data. Like chicken and egg, data tidak lagi hanya sebagai ‘ending’, but as a ‘starting point’ for a better ending instead.

Adanya people analytic, akan mempermudah pengolahan dan analisa informasi yang didapatkan untuk menentukan strategi dalam menjaring talenta yang tepat, mempertahankan, serta mengembangkan talenta tersebut secara lebih efektif. Dengan kata lain, data yang didapatkan dapat digunakan untuk mengevaluasi ‘masa lalu’, untuk menyempurnakan ‘masa depan’. 

Kapan people analytic dilakukan dan seperti apa sih bentuknya?

1. Find the right one
Implementasi people analytic dapat dimulai sejak proses awal yang krusial dalam perusahaan, yaitu to find the right one dalam proses hiring.

Jika berbicara terkait ‘the right one’, secara holistik, apa sih yang kita cari dari kandidat dalam proses hiring? Tidak lain dan tidak bukan adalah kompetensi dan kepribadian yang sesuai bukan? Kompetensi untuk catch up dengan aktivitas pekerjaannya secara teknis, dan kepribadian untuk fit dengan jenis pekerjaannya, lingkungan, dan company culture.

Untuk mengungkap chemistry dan compatibility kandidat dalam 2 aspek tersebut secara obyektif, dapat dilakukan assessment dalam proses seleksi kandidat. Dengan adanya assessment, HR dapat mengumpulkan data terkait kompetensi dan kepribadian kandidat, untuk dapat dipertimbangkan berdasarkan kompetensi dan kepribadian yang dibutuhkan pada posisi tertentu.

Jika bisa diungkap dengan data untuk memvalidasi gut feeling, why not?

 

2. Treat them better & create your leaders
Tentu saja tanggung jawab kita tidak berhenti hingga memilih talenta terbaik dalam proses hiring. Talenta terbaik pun perlu untuk dipertahankan dan dikembangkan, bukan? 

Dengan adanya assessment pada talenta-talenta di perusahaan, akan mempermudah kita untuk deep down dan mengidentifikasi hal-hal apa saja yang perlu untuk dikembangkan dari talenta kita. Dengan kata lain, pengumpulan data melalui assessment akan mempermudah untuk melihat gambaran kapasitas talenta saat ini secara utuh dan obyektif, mengenali talenta-talenta yang memiliki potensi yang tinggi (HiPo) untuk dikembangkan sebagai leader, serta mengidentifikasi kesenjangannya dengan kompetensi yang dibutuhkan pada posisi tersebut.

Ditemukannya kesenjangan tersebut akan membantu untuk memberikan insight pada company terkait strategi yang tepat kedepannya, termasuk kebutuhan training karyawan. Tidak hanya berhenti hingga di tahap itu, assessment pun dapat dilakukan pasca training ataupun intervensi lain yang telah diterapkan, sehingga dapat mengukur efektivitas intervensi yang telah diimplementasikan.

Dengan demikian, ROI (return of investment) akan lebih terukur, dan dapat menjadi pertanggungjawaban kepada perusahaan, meningkatkan value secara obyektif, dan membantu menetapkan strategi terbaik kedepannya dalam succession planning dan development.

 

3. Retain your best talent
Salah satu tantangan terbesar untuk mempertahankan talenta terbaik adalah untuk bisa menjawab kebutuhan mereka as a personal. Mengingat setiap talenta memiliki orientasi, ‘bahasa kasih’, dan kebutuhan yang berbeda, you’ll never know how to increase their satisfaction until you try to understand their needs, right? Jika treatment yang diberikan tidak sesuai dengan ‘bahasa kasih’-nya, bagaimana treatment tersebut bisa menjadi bermakna bagi mereka?

That’s why, dengan melakukan assessment, akan mempermudah company untuk mengadakan program atau intervensi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing personal. Dengan demikian, akan membantu untuk meningkatkan employee experience dan employee engagement yang dapat berdampak positif pada produktivitas karyawan dan perusahaan.

Baca Juga : Cara Efektif untuk Menciptakan Candidate Experience yang Baik

Salah satu assessment platform yang sangat direkomendasikan yaitu Talentics. Karena Talentics memiliki banyak sekali assessment inventory yang bisa digunakan untuk mengukur dan menilai profile dari berbagai macam tingkatan mulai dari level staff hingga level eksekutif. Selain itu semuanya bisa dilakukan secara online, didukung dengan teknologi anti curang, dan hasil assessment akan muncul secara instan. Menarik bukan?  

That’s good to find chemistry based on your gut feeling. But, isn’t it better to validate your gut feeling with data or compatibility, and end up as a good feeling?

Remember, people analytic is one of the best ways for HR to prove their value to their company. Dengan Talentics, People Analytics Made Easy. Jadi, sudah siap mengubah 'gut feeling'-mu menjadi 'good feeling'?

 

Apakah artikel ini membantu?
YaTidak

Share:

Leave a Reply

On Key
Scroll to Top

Talentics

PT. Semesta Integrasi Digital.