Bukan rahasia lagi jika kandidat yang komunikatif dan atraktif seringkali memiliki potensi yang lebih besar untuk menarik hati para rekruter atau pihak perusahaan. Kepiawaiannya untuk memberikan ‘rayuan pulau kelapa’ dengan dongeng dan janji manis seringkali berhasil mengantarkan kandidat jenis ini untuk masuk ke ruang kantor baru. Belum lagi jika kandidat tersebut memiliki personal branding yang menarik.
Apakah merekrut kandidat seperti itu adalah keputusan yang salah? Tentu tidak, selama realitanya seindah dongeng dan janji yang disampaikan di awal. Namun, berbeda halnya jika pada kenyataannya, personal-nya tidak sesuai dengan branding-nya.
Tidak jarang, kemampuan kandidat yang telah direkrut tidak sesuai dengan ekspektasi yang terbentuk pada saat PDKT. Apakah sepenuhnya kesalahan kandidat? Belum tentu, karena HR lah yang telah menjatuhkan pilihan pada kandidat tersebut setelah PDKT. Bukankah wajar jika kandidat berusaha untuk ‘menjual’ pada saat proses hiring berlangsung? Apakah kandidat tersebut dapat dikatakan tidak kompeten ketika menunjukkan kinerja yang kurang maksimal? Belum tentu, karena bisa jadi tempatnya lah yang kurang sesuai.
Baca Juga : Mengubah 'Gut Feeling' Menjadi 'Good Feeling'
Pemain bola yang hebat, tidak selalu hebat ketika diminta untuk berenang, begitupun sebaliknya. Artinya, individu yang kompeten, bisa saja kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kompetensinya ketika terjerumus pada wadah yang kurang tepat. That’s why, di sini lah hubungan antara harta, tahta, dan data perlu dipertimbangkan.
Bagaimana maksudnya? Here we go!
Harta, Tahta, Data
Tidak bisa dipungkiri, indikator utama keberhasilan suatu bisnis adalah produktivitas secara finansial, atau ‘harta’ yang dapat ‘dicetak’ oleh perusahaan tersebut. Untuk dapat mencetak harta yang meningkatkan produktivitas perusahaan, tentu orang-orang yang memiliki ‘tahta’ lah yang menjadi GPS perusahaan tersebut. Dengan kata lain, kinerja karyawan lah yang berkontribusi dalam mencetak produktivitas perusahaan. Lebih jelas lagi, produktivitas perusahaan secara tidak langsung bergantung pada individu-individu yang bekerja di dalamnya.
Oleh karena itu, HR wajib untuk memastikan bahwa manpower yang bertahta dalam perusahaan memiliki kompetensi, keterampilan, dan karakter yang sesuai untuk mencapai goal perusahaan.
Tentu bukan hal yang mudah bagi HR untuk memastikan kesesuaian tersebut dengan ilmu ‘cocokologi’. Satu-satunya senjata terbaik bala bantuan yang dapat dimanfaatkan oleh HR adalah berkolaborasi dengan data. Dengan data-driven HR Management, HR dapat meningkatkan kualitas dari setiap pengambilan keputusan terkait ‘tahta’ SDM, yang berdampak pada produktivitas perusahaan.
Implementasi data-driven HR dapat dimulai dari proses hiring yang mampu menggali kompetensi, keterampilan, dan karakter yang sesuai secara obyektif untuk mencapai goal perusahaan. Dengan adanya data yang mendasari pengambilan keputusan ketika hiring, akan meminimalisir kemungkinan bad hiring atau menempatkan kandidat pada posisi yang tidak sesuai. Tidak hanya pada proses hiring, namun juga menghindari berinvestasi lebih pada karyawan yang salah, terutama dalam pengambilan keputusan promosi.
Singkatnya, data-driven HR memiliki implikasi yang sangat luas pada kinerja dan produktivitas perusahaan, both of the people in the organization and the organization as a whole.
Baca Juga : Apa Saja yang Perlu Diperiksa Dalam Employee Background Checks?
Lantas, apa sih data-driven HR Management?
Data-driven HR Management adalah sebuah pendekatan yang berbasis pada data yang digunakan sebagai bahan bakar dalam berbagai pengambilan keputusan.
Dengan kata lain, data yang dulunya hanya tersimpan di database, kini mulai digunakan sebagai ‘pamungkas’ untuk mengevaluasi dan menganalisa trend, dan menjadi acuan untuk menentukan strategi kedepannya. Hal tersebut tentunya juga bisa berimbas pada laju perkembangan bisnis.
Dengan menggunakan pendekatan tersebut, HR mampu menawarkan value pada perusahaan untuk mengidentifikasi pola dalam aktivitas perusahaan. Tidak hanya menjadi jawaban ‘kenapa’ suatu hal terjadi, namun juga menjawab ‘apa’ yang akan terjadi kedepannya.
Data-driven HR Management tidak hanya dapat diimplementasikan pada proses hiring, namun juga dapat diimplementasikan terkait employee engagement, performance management, talent management, succession planning, dan berbagai ‘project’ HR lainnya.
How it works?
Memulai untuk mengimplementasikan pendekatan data-driven HR management bukanlah proyek jangka pendek. But, nothing worth having comes easy, right?
Like chicken and egg, data tidak lagi hanya sebagai ‘ending’, but as a ‘starting point’ for a better ending instead. Thus, pendekatan ini dapat dimulai dengan pola yang terbalik dari ending ke starting point. Artinya, sebagai proses awal, perlu dilakukan identifikasi terkait masalah atau keputusan yang dianggap krusial terlebih dahulu, yang kiranya membutuhkan data untuk mendukung penyelesaian atau pengambilan keputusannya.
Setelah memahami rumusan masalahnya, dapat dilanjutkan dengan mengidentifikasi data dan yang relevan dan dibutuhkan untuk pemecahan masalah tersebut.
Setelah mengidentifikasi data yang dibutuhkan, barulah dilakukan pengumpulan data sesuai matriks yang dibutuhkan. Dengan demikian, data yang dikumpulkan dapat memberikan kontribusi dan dampak yang konkrit untuk menjawab ‘kegalauan’ dalam perusahaan. Setelah pengumpulan data dilakukan, barulah dilakukan analisa yang menghasilkan insight, yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Sebagai contoh, jika yang menjadi masalah adalah produktivitas karyawan yang dirasa tidak sesuai ekspektasi perusahaan, maka perlu dibuktikan dengan data terkait kinerja karyawan tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengumpulan data untuk mengukur produktivitas dan kinerja karyawan tersebut secara obyektif, untuk kemudian memutuskan tindakan yang diperlukan untuk karyawan tersebut. Jika perlu pelatihan, pelatihan apa yang dibutuhkan? Dalam hal ini, tentu penggunaan assessment tools bisa menjadi jawaban yang sangat ideal untuk membantu pengukuran secara obyektif.
Jika ditarik mundur kembali, sejak kapan rendahnya produktivitas karyawan tersebut terjadi? Jika sejak awal, bukankah berarti efektivitas penilaian dalam proses hiring pun perlu dipertanyakan? Moving backward, bukankah berarti perlu dianalisa juga efektivitas sourcing channel yang digunakan?
Di sini lah data ‘lagi-lagi’ dibutuhkan.
Dengan adanya data, akan lebih mudah untuk mengidentifikasi sumber yang paling efektif untuk menghasilkan top talent pada posisi tertentu yang dibutuhkan. Misalnya, jika sebagian besar karyawan yang menunjukkan produktivitas tinggi adalah karyawan yang didapatkan dari job portal tertentu, atau sosial media tertentu, maka alokasi dana dapat difokuskan pada channel tersebut untuk memperkecil cost per hire dalam proses rekrutmen, sekaligus meningkatkan quality of hire.
Tidak hanya terkait sumbernya, namun apabila data yang dihasilkan menyatakan kandidat yang telah direkrut seringkali menunjukkan kinerja yang tidak sesuai dengan ekspektasi perusahaan, maka akan mempermudah untuk mengidentifikasi dimana letak lack yang seringkali terjadi. Jika sebagian besar karyawan yang tidak produktif dikarenakan kemampuan teknis, maka pengadaan tes kompetensi adalah jawabannya. Jika tes kompetensi sudah dilakukan, bukankah perlu dievaluasi kembali jika tidak berhasil memberikan gambaran kemampuan kandidat sesuai ekspektasi?
Baca Juga : Data-Driven HR Organization: Haruskah?
Dengan menggunakan data seperti contoh di atas, akan lebih mudah untuk menetapkan pendekatan yang tepat dalam meningkatkan kualitas manpower sejak awal proses seleksi. Sehingga proses seleksi mampu memberikan gambaran yang representatif sesuai dengan kualitas kandidat yang dibutuhkan perusahaan, dan menghindari drama personal yang tidak sesuai dengan branding-nya.
Untungnya saat ini berbagai macam teknologi yang mendukung terwujudnya data-driven HR management sudah banyak bermunculan. Salah satu teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh team HR adalah teknologi People Analytics dan Assessment Talentics. Teknologi yang dimiliki oleh Talentics membuat team HR bisa lebih mudah mengekstrak data competency, personality, ataupun performance karyawan dalam waktu yang sangat singkat. Menarik bukan?
Jadi, bukankah kita punya pilihan untuk menghindari drama personal tidak sesuai branding? Jika bisa menggunakan ‘data’ untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas ‘tahta’ dan ‘harta’, kenapa harus bermain ‘drama’?